Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta
semuanya dari dirimu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah
lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai.
(Syaikhut Tarbiyah KH. Rahmat Abdullah)
Ada
satu pelajaran berharga untuk setiap ikhwan-akhwat aktivis dakwah yang
terjadi di masa Syaikh Abdul Qadir al Jilani. Sebagaimana telah
masyhur diketahui, beliau adalah salah seorang ulama kharismatik ahli
thariqah sunniyah yang terkenal dengan karamahnya. Sampai-sampai Syaikh
Izzuddin bin Abdissalam, ulama besar madzhab Syafi’i, mengatakan:
“Tidak pernah kita mendengar karamah seseorang secara mutawatir kecuali
karamah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.”
Begini
kisahnya. Sepeninggal gurunya, Syaikh Abdul Qadir berniat memperluas
dan membangun ulang madrasah peninggalan sang guru. Maka umat pun
menyambut antusias keinginan beliau sehingga orang-orang kaya lantas
menyumbangkan hartanya untuk pembangunan madrasah. Orang-orang faqir
juga tak ingin kehilangan kesempatan beramal dengan mencurahkan
tenaganya. Para pengikut syaikh Abdul Qadir benar-benar menunjukan
pengorbanan dalam perjuangan dakwah sang syaikh.
Satu
diantara pengikut Syaikh Abdul Qadir adalah seorang wanita faqir,
isteri dari seorang faqir pula. Tak ada lagi yang dapat ia sumbangkan
untuk pembangunan madrasah karena kefaqirannya. Bahkan saat itu maharnya
pun masih terhutang, belum dibayar oleh suaminya. Tapi tunggu dulu,
ini adalah kesempatan langka. Semua tak boleh ketinggalan untuk ikut
andil dan menanam saham dakwah dalam amal jariyah madrasah Syaikh Abdul
Qadir.
Datanglah
ia bersama sang suami ke hadapan sang Syaikh, sambil berujar: “Ini
adalah suamiku. Aku memiliki piutang mahar padanya sebesar dua puluh
dinar emas. Sungguh aku telah merelakan separuhnya kuberikan untuk
suamiku, namun dengan syarat dia bekerja di madrasah anda dengan separuh
sisanya piutang mahar itu sebagai gajinya”
Subhanallah. Allahu Akbar.
Maka
Syaikh Abdul Qadir pun menerima perjanjian antara suami-isteri itu.
Beliau pun mempekerjakan sang suami di madrasahnya. Syaikh Abdul Qadir
tahu persis bahwa laki-laki itu faqir tak berpunya. Atas dasar itulah
diam-diam beliau mempekerjakan laki-laki faqir itu sehari tanpa gaji,
dan sehari lain dengan gaji. Sehari tanpa gaji sebagai bentuk penerimaan
beliau atas sumbangsih sang isteri. Sehari lain dengan gaji disebabkan
kefaqiran mereka berdua. Begitu selang-seling. Suatu saat, setelah
laki-laki itu menyelesaikan masa kerja seukuran gaji sepuluh dinar,
Syaikh Abdul Qadir berbicara padanya. Sambil mengeluarkan perjanjian
beliau memberinya lima dinar dan mengatakan: “Engkau telah lunas dengan
sisa maharmu.”
Alhamdulillah.
Ikhwah
Fillah, begitulah cinta. Sekarang, sudah adakah andil kita dalam
dakwah? Sudahkah kita berperan? Siapa yang harus bertanggung jawab
dengan pendidikan agama remaja dan anak-anak masjid di sekitar kita?
Kalau bukan kita, lantas siapa?
Adakah cinta tanpa pengorbanan?
Riza Zakariya
Kisah di atas disarikan dari buku:
Hakadza
Dhahara Jailu Shalahuddin Wa hakadza ‘Adat Al Quds, DR. Majid ‘Arsan
al Kailani, Darul Qalam, Dubai UAE, Cetakan ketiga, 2002, hal 186.
versi ebook
Setiap cinta butuh pengorbanan. Bukan hanya harta, tapi banyak bentuk pengorbanan karena cinta. Hmm...sanggupkah aku???
No comments:
Post a Comment